Derbi Hendry-Atal: Mengungkap Skenario Pemaksaan Kehendak

Catatan: M. Syahrir, Ketua DKP PWI Sumut
Redaksi - Minggu, 01 Oktober 2023 17:04 WIB
Istimewa
M. Syahrir, Ketua DKP PWI Sumut
bulat.co.id -BARU usai proses demokrasi di organisasi profesi wartawan terbesar dantertua di negeri ini. Giliran Kota Bandungmenjadi saksi sejarah bergulirnyaestafet kepemimpinan di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)yang digelar melalui Kongres XXV tahun 2023.

Hendri ChBangun akhirnya dipercayamenakhodai PWI untuk 5 tahun kedepansetelah mengalahkan Atal S Depari (incumbent) dengan skor dukungan 41-47 suara.

Laga finalHendry-Atal ibarat derbi dalam istilah olahraga. Keduanya berasal dari Sumatera Utara dan sama-samabersuku Karo. Serunya lagi keduanya malah pernah bertarung dalam Kongres PWIXXIV tahun 2018 di Solo dan dimenangkan Atal dengan skor 38-35. Atal pun diberiamanah memimpin PWI untuk masa bakti 2018-2023.

Dalam Kongres Bandung Hendry melakukan revans,apalagi selisih suara Kongres Solo cukup tipis hanya 3 suara, dan di KongresBandung Hendry mampu mendulang selisih 6 suara. Apakah Atal akan melakukanrevans 5 tahun kedepan? Wallahualam, semua kemungkinan bisa saja terjadi.

Pertarungan derbi Hendry-Atal di Kongres Bandungcukup menarik dengan munculnyaZulmansyah Sekedang, Ketua PWI Riau tokoh muda yang gagah berani menawarkanprogram Hebat untuk kemajuan PWI sebagai calon Ketua Umum.

Walaupunhanya tampil dalam kontestasi putaran pertama dan meraih 9 suara, namunZulmansyah menjadi kunci kemenangan Hendry.

Di putaran pertama, Hendry meraih 39 suara dan Atal40 suara dari 88 suara yangdiperebutkan. Dikarenakan tak satupuncalon melewati batas ambang minimal ½ N+ 1 dilanjutkan ke putaran kedua, dandisinilah pertandingan derbi ituterulang lagi.

Lobi-lobi tingkat tinggi pun berlangsung spontandengan pertimbangan subjektif dan objektif, bahkan rasional dan irasional.

Dalam proses waktu yang sempit, 8 suara pendukung Zulmansyah beralih ke Hendry Bangun, sementara Atal Depari hanyamampu menambah 1 suara. Alhasil total suara Hendry 39 + 8 = 47 suara, sementaraAtal 40 + 1 = 41 suara.

Dan klop, PWI memiliki nakhoda baru Hendry Ch Bangununtuk masa bakti 2023-2028, sementara Sasongko Tedjo secara aklamasi didaulatsebagai Ketua Dewan Kehormatan (DK) PWI untuk masa bakti yang sama.

Lantas, apa yang menarik dari perhelatan akbardemokrasi di PWI? Secara angka-angka dalam setiap proses pemilihan masih dalamkoridor kelaziman. Pengajuan calon, perhitungan hingga menghasilkan pemenangadalah hal yang biasa.

Namun adayang tak biasa seakan memunculkanskenario memaksakan kehendak dari 'kubu incumbent' untuk memenangkan pertarungan.

Melaluisteering committe (SC) disiapkan draft rancangan tata tertib (tatib) yang masih mengacu pada PeraturanDasar-Peraturan Rumah Tangga (PD-PRT), namun saat membedah persyaratan calon Ketua Umum disitulahtergambar ada skenario pemaksaan kehendakyang sebagian persyaratannyatidak diatur dalam PD-PRT.

Dukungan 20 Persen

Sejumlah persyaratan calon Ketua Umum dalam tatibyang paling krusial dan menjadi perdebatan panjang dalam rancangan tata tertib dituliskantentang batasan usia minimal calon 40tahun dan setiap calon harus dukungan tertulis minimal 20 persen dari jumlah PWI Provinsi.

Dua rancangan persyaratan ini seolah 'dipaksakan' dan terkesan 'pesanan'untuk menggagalkan hak anggota mencalonkan diri atau yang lebih ekstrim lagihanya akan ada satu orang yang bisa mencalonkan diri karena dukungan suaraprovinsi dikuasai satu calon, dan hampir dipastikan aklamasi.

Padahal,dalam PD-PRT memang ada mengaturbatas usia minimal 40 tahun, namun syarat itu hanya untuk calon Ketua Dewan Kehormatan (DK) danDewan Kehormatan Provinsi (DKP) beserta anggota dengan ditambah persyaratanlainnya, sementara untuk calon Ketua Umum tidak mengatur batasan usia.

Untungnya dari anggota yang ingin mencalonkan diritak ada yang berusia dibawah 40 tahun sehingga aturan itu tidak terlaludipersoalkan, namun dalam perdebatan sempat dimunculkan wacana batas usiamaksimal juga diatur jika batas usia minimal terus dipaksakan.

Perdebatanyang paling seru terjadi saat SC'memaksakan' rancangan persyaratan dukungan provinsi 20 persen, namunrancangan pasal ini akhirnya dihapus setelah dilakukan voting dan lebih banyak provinsi yang tidakmenyetujui pasal tersebut dicantumkan.

Sebenarnya pasal-pasal tambahan yang tidak diaturdalam PD-PRT bisa saja dijadikan bagian dari persyaratan namun harus diumumkanjauh-jauh hari, tidak ujug-ujug dimunculkan dalam proses pemilihan.

Hal ini juga mengacu pada mekanisme format dukungan,termasuk jika terjadi dukungan ganda terhadap calon. Sikap pemaksaan kehendaktanpa melalui mekanisme ini mengindikasikan calon incumbent ingin memanfaatkankewenangan SC mengendalikan persidangan.

Penguatan terhadap skenario pemaksaan kehendak inimakin sangat kentara manakala pimpinan sidang sementara dari unsur SC berulangkali menyampaikan hal-hal yang belum diatur dapat diputuskan dalam Kongres,karena Kongres merupakan forum tertinggi dalam sebuah organisasi.

Sebenarnya apa yang disampaikan Pimpinan sidangsementara benar, karena makna Kongres ini adalah menyempurnakan aturanorganisasi agar lebih baik, namun harus tetap mengacu pada PD-PRT, Kode EtikJurnalistik (KEJ) dan Kode Prilaku Wartawan (KPW) PWI. Utamanya harus dikecualikan terhadap 'niatan tertentu'yang berujung pada kepentingan kelompok.

Dan yang perlu digaris-bawahi adalah keputusan yangsangat prinsipil tidak berlaku secara serta merta, apalagi dalam PD-PRTdisebutkan hal-hal perubahan PD-PRT yang disahkan oleh Kongres harus dibuat dalam akte notaris.

Peraturan Organisasi

Solusi lain yang selama ini belum dilakukan penguruspusat adalah menyiapkan Peraturan Organisasi (PO) atau istilah lainnya yangpermanen guna melengkapi/menyempurnakan hal-hal tehnis yang belum diatur dalamPD-PRT, KEJ maupun KPW.

Keberadaan POyang merupakan turunan dari PD-PRT dianggap perlu dan mendesak khususnyamenyikapi tata cara pemilihan Ketua Pusat, Ketua Provinsi dan Ketua Kabupaten/Kota,persyaratan calon, jadwal pendaftaran dan hal-hal lain yang dianggap prinsipil.

Penolakanterhadap dukungan 20 persen dari Provinsi dan perdebatan tentang batas usiaminimal untuk menjadi calon Ketua menjadi bukti perlunya aturan tambahan yang menjadi acuan dalam melaksanakanmekanisme organisasi.

Itu ditingkat pusat, bagaimana ditingkat Provinsiatau Kabupaten/Kota? Malah lebih nyelimet lagi. Persoalannya, ada pasal diPD-PRT yang membuka peluang terciptanya money politics terkait denganmandataris bagi anggota yang tidak hadir dalam pelaksanaan Konferensi.

Pasal 33 ayat4 PRT menyebutkan; Anggota yang memberikan mandat dianggap hadir. Disini pemicumoney politics itu terjadi. Tanpa sadar kita seakan membenarkan terjadinya jualbeli mandat menjelang Konferensi.

Walaupuntujuan mandataris itu adalah bentuk kehadiran anggota dalam suasana apapun diKonferensi, namun fakta di lapangan yang terjadi adalah kegiatan transaksional.

Harusnya,mandataris hanya digunakan untukmemenuhi kourum 2/3 saja, dan untuk proses pemilihan harus dilakukan bagianggota yang hadir langsung.

Khusus untukwilayah Provinsi di kawasan Papua mungkin bisa dimaklumi dengan alasan jaraktempuh atau peristiwa khusus seperti merebaknya wabah Covid 19 yang baru lalu,namun untuk daerah dan kondisi yang masih normal hal tersebut perlu menjadipertimbangan.

Hal lain juga yang perlu disikapi adalahpemberlakuan Kartu anggota seumur hidup bagi anggota yang berusia 60 tahun(pasal 9 ayat 4 PRT).

Pasal inijuga perlu disempurnakan dengan kewajiban mereka-mereka yang berusia diatas 60tahun untuk melakukan registrasi tahunan atau 5 tahun sekali.

Langkah inijuga dimaksudkan untuk pendataan anggota menjadi lebih valid sekaligus gunamenghindari penyalahgunaan suara saat berlangsungnya Konferensi.

'Pembunuhan Hak'

Skenario pemaksaan kehendak pun makin kentaraterlihat saat Sidang Komisi pembahasan PD-PRT, KEJ dan KPW di Komisi A.

Perdebatanyang menjurus pada keributan terjadi pada saat pembahasan periodesasikepengurusan di tingkat PWI Kabupaten/Kota.

Dalam draft masa periodesasi dituliskan 5 tahun,sama seperti kepengurusan di Pusat dan Provinsi, namun sebagian besar pesertasidang menolak dan akhirnya tetap menyepakati3 tahun.

Pasal yang paling mengejutkan dan terkesandiciptakan untuk 'pembunuhan hak' anggota sebagai pengurus tergambar di draftpasal 29 ayat 1 PD.

Di pasal initertulis; Anggota yang akan atau masih menduduki jabatan di Lembaga-lembaganegara tertentu seperti, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi PenyiaranIndonesia (KPI) atau Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), Komisi Informasi (KI), Komnas HAM,Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilihan Umum (DKPP), Komisi Pemilihan Umum(KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Lembaga Perlindungan Saksi danKorban (LPSK), Lembaga Sensor Film (LSF) dan staf/tenaga ahli dikementerian/Lembaga pemerintahan harus non aktif dari pengurus.

Pasal diatas sangat kontradiktif dengan pasal 16ayat 1 KPW; Wartawan yang akan menduduki jabatan atau telah selesai mendudukijabatan sebagai ketua, sekretaris, anggota atau staf di lembaga-lembaga negaraseperti, namun tidak terbatas pada, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), KomisiPenyiaran Indonesia (KPI) atau Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), KomisiInformasi (KI), Komnas HAM, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Lembaga PerlindunganSaksi dan Korban (LPSK), Lembaga Sensor Film (LSF), dapat tetap menjadipengurus PWI pada semua tingkatan karena pekerjaan-pekerjaan tersebut selainuntuk melayani kepentingan publik jugatidak mengandung benturan kepentingan dengan tugas-tugas atau prinsipkewartawanan.

Jika dianalisis, pembalikan makna pasal yangbertolakbelakang ini jika dibaratkan dari positif menjadi negatif, dari jantanmenjadi betina, dari baik menjadi burukhingga perpindahan pasal dari KPWke PD-PRT mengindikasikan ada upaya 'pembunuhan hak' anggota untuk menjadipengurus.

Apalagi dalam regulasi aturan pers dan lembagaterkait tidak mencantumkan adanya pelarangan kecuali KPK, KPU, Bawaslu dan DKPPyang memang sudah diatur di lembaga tersebut.

Setelah terjadi perdebatan panjang, akhirnya pasal tersebut dianulir dan diperbaiki dengan dalihkesalahan dalam penginputan data.

Begitulah perjalanan Kongres PWI di Bandung, penuhdinamika dan intrik. Strategimemenangkan calon pemimpin PWI untuk 5 tahun kedepan pun dilakukan denganberbagai cara. Perlu perubahan, juga penguatan dan semangat membangunorganisasi profesi kewartawan yang kuat adalah tujuan kita bersama.

Banyak hal-hal yang perlu disempurnakan, dan kitapercayakan saja kepada mereka yang terpilih menjadi pengurus. Rumah Besar PWIkini dinakhodai Hendry Bangun bersama Sasongko Tedjo selaku punggawa etik bagianggota .

Selamat berkarya Bang Hendry & Mas Sasongko,terima kasih Bang Atal dan Bang Ilham. Karyamu tetap kami kenang. Itu saja.

Editor
:

Tag:

Berita Terkait

Kolom

Terungkap! Ini Alasan Sekretaris PWI Nekad Nyalon Wabup Pemalang

Kolom

Seorang Wartawan di Pemalang Nekad Nyalon Wakil Bupati Hanya Bermodal SEJUTA

Kolom

Rapat Pemantapan Panitia Family Gathering 1 Juni 2024, Farianda Sinik Berpesan Pastikan Peserta Bergembira

Kolom

PWI Madina Salurkan Paket Lebaran ke Pengurus

Kolom

Penggunaan Dana UKW FH BUMN Sesuai Aturan, UKW Tetap Digelar Ditambah SJI

Kolom

PWI Deliserdang Berikan Apresiasi kepada Bupati HM Ali Yusuf Siregar